Formulasi pertanyaan penelitian selalu dikonotasikan dengan sekedar pembuatan pertanyaan. Apa yang salah dengan hal ini? Ada apa dengan kata formulasi?
1. ‘Memformulasi’ Pertanyaan, bukan ‘Membuat’ Pertanyaan
Sebelum memformulasikan sebuah pertanyaan, kita harus memahami perbedaan dari kata ‘membuat’ dan ‘memformulasikan’ pada fase pertama ini.
Meskipun keduanya dapat dikatakan sebagai sinonim antara satu sama lain, namun kata ‘memformulasikan’ membutuhkan sebuah konsep pemahaman dan logika yang baik sebelum mendapatkan bentuk pertanyaan yang diinginkan. Sedangkan kata ‘membuat’ lebih memiliki kesan, baik input maupun output yang lebih sederhana.
Contoh #1: Foster, 1995
Bryman mencontohkan formulasi pertanyaan ini dengan menggunakan penulisan Foster (1995) yang berusaha untuk membahas tingkat kriminalitas dalam sebuah komunitas yang didominasi oleh perumahan susun yang disubsidi oleh pemerintah. Asumsi umum dalam masyarakat mengatakan bahwa, tingkat kriminalitas di komunitas tersebut disebabkan oleh tingkat kontrol sosial yang rendah. Namun, Foster memiliki pendapat bahwa sebenarnya konsep mengenai kontrol sosial pun masih dapat diperdebatkan mengenai operasional konsepnya yang bersifat informal. Selain itu, Foster pun melihat bahwa fenomena ini memiliki tingkat variasi yang cukup signifikan dari satu blok perumahan ke perumahan lainnya. Dari hal ini, akhirnya Foster pun memutuskan untuk fokus pada formulasi pertanyaan penelitiannya yang berusaha mencari bagaimana hubungan kausatif antara perumahan susun subsidi pemerintah, dinamika kontrol sosial, dan tingkat kriminalitas.
Dari narasi singkat pada paragraf sebelumnya kita dapat memahami bahwa, untuk memiliki pertanyaan penelitian yang baik kita harus membenturkan fenomena yang kita anggap menarik untuk diangkat sebagai sebuah penulisan dengan fakta empirik, teori, maupun konsep yang telah kita siapkan.
Pertama, Foster mengobservasi fenomena umum bahwa masyarakat menilai perumahan susun subsidi pemerintah sangat dikaitkan dengan tindakan kriminalitas. Masyarakat umum pun menyebutkan, hal ini disebabkan oleh kontrol sosial yang rendah. Kedua, fenomena dan asumsi publik ini pun dibenturkan dengan fakta, bahwa tidak semua rumah susun yang disubsidi oleh pemerintah selalu dikaitkan dengan kriminalitas yang tinggi.
Pembenturan masalah atau fenomena dengan data empirik, konsep, maupun teori ini akan menghasilkan sebuah ‘enigma’ yang idealnya sudah pantas untuk diangkat menjadi sebuah pertanyaan penelitian.
Contoh #2: Wibisono Ali, 2010
Pada contoh kedua ini, peneliti melihat bahwa sebuah fenomena kontra-terorisme di ASEAN sudah berlangsung cukup lama. Hal ini pun dapat dibuktikan: salah satunya adalah dengan hadirnya konvensi ACCT atau Asean Convention on Counter Terrorism yang mendorong hadirnya pemahaman universal atas bahaya dan risiko dari terorisme itu sendiri. Upaya ASEAN yang merupakan representasi dari kawasan regional Asia Tenggara pun berbanding lurus dengan kepentingan negara-negara anggotanya. Hal ini dibuktikan dengan masing-masing pemerintah dari negara anggota ASEAN pun sudah melangsungkan berbagai macam cara untuk menangani akar dari masalah terorisme tersebut.
Namun, fenomena ini kemudian dibenturkan dengan kondisi empirik yang menunjukkan bahwa masih ada keterbatasan-keterbatasan yang riil untuk mencapai kondisi ideal atas agenda kontra-terorisme tersebut.
Sehingga, pertanyaan yang dapat diformulasikan dalam penelitian ini pun fokus pada analisa mengapa masalah kontra-terorisme di ASEAN masih sangat sukar untuk diselesaikan meskipun hal ini sudah berlangsung cukup lama.
Dari contoh kedua ini, kita pun dapat melihat bahwa fenomena yang selama ini telah terjadi, yaitu ASEAN dan kontra-terorisme, sangat memungkinkan untuk ‘ditabrakkan’ dengan data empirik, yaitu keefektivitasannya yang dapat dipertanyakan dalam memberantas terorisme di kawasan. Dengan kata lain, membenturkan kondisi ideal yang diinginkan dengan kondisi empirik yang bersifat kontradiksi, dapat digunakan sebagai formulasi sederhana dalam perumusan pertanyaan penelitian tersebut.
2. Formulasi yang Sebenarnya Cukup Sederhana
Setelah memahami proses perumusan masalah dalam pembahasan yang sangat sederhana oleh sub-pembahasan sebelumnya, terdapat sebuah ‘rumus’ sederhana yang mampu kita gunakan dalam merancang sebuah pertanyaan penelitian.
Rumus tersebut adalah dengan mempertemukan kondisi ideal dari sebuah fenomena, teori, maupun konsep, dengan kondisi empirik saat ini yang bersifat kontradiktif atau antitesis dari kondisi ideal yang diinginkan.
Kondisi Ideal (Fenomena/Konsep/Teori) + Kondisi Empirik Yang Berlawanan = Masalah
Masalah + Kata Tanya = Pertanyaan Penelitian
Dari dipertemukannya kondisi ideal dan kondisi empirik yang saling berlawanan ini, maka umumnya kita akan mendapatkan sebuah permasalahan.
Dari permasalahan ini lah kemudian kita bisa menentukkan pertanyaan penelitian yang sekaligus merupakan tujuan dari dituliskannya penelitian ini.
Dapat dikatakan bahwa dengan tercapainya perumusan pertanyaan penelitian yang efektif, kita secara tidak langsung telah mampu menjabarkan masalah, tujuan, asumsi, maupun hipotesa dalam sebuah penelitian. Tentunya, hal ini akan sangat membantu selama proses penulisan bagian pendahuluan.
Apakah teman-teman sudah cukup terbantu melalui contoh dan rumus sederhana pada artikel ini?
***
Baca juga: