Isu Sosial dalam ESG

Isu Sosial dalam ESG: Apakah Sebuah Pembahasan Klise?

Isu sosial dalam setiap pembahasan ESG sudah terkesan sangat klise: penuh dengan repetisi dan redundansi akan setiap pembahasannya. Namun, beberapa akademisi dari Hardvard Law School justru berpendapat sebaliknya. Mengapa demikian?


Highlights:

  • Isu Sosial dalam ESG: Dinamis dan Terus Bergerak
  • Apa saja Contoh Respon Perusahaan dalam Menanggapi Isu Sosial?
  • Lalu, Apa yang Bisa Disimpulkan?

Belakangan ini, kita semua telah dibuat geram dengan sebuah fenomena yang cukup mengejutkan untuk terjadi. Seorang oknum, yang diyakini bahwa ia merupakan sebuah CEO dari perusahaannya, telah melakukan aksi yang sangat tidak bertanggung jawab dan meresahkan semua orang.

Masyarakat pun tidak tinggal diam. Aksi arogan dari oknum tersebut pun menghasilkan reaksi dari netizen Indonesia untuk memberikan rating yang cukup rendah kepada perusahaan yang dimiliki oleh CEO tersebut. Hasilnya? Perusahaannya pun sekarang hanya memiliki satu bintang sebagai indikatornya skornya dalam google review.

Dari fenomena ini, kita bisa melihat bahwa isu sosial sangat berikatan erat dengan berkelanjutannya sebuah bisnis perusahaan. Namun, apakah pembahasannya yang cenderung repetitif dan redundan mengurangi relevansinya?

Sebenarnya kita dapat bertanya kepada diri kita sendiri: apakah di antara kita akan ada yang ingin untuk berinvestasi ke perusahaan oknum tersebut mengingat masalah sosial yang dilakukannya beberapa hari lalu? Sehingga, seperti apa sih penjabaran Hardvard Law School tentang mengapa perusahaan harus selalu sensitif terhadap isu sosial ini?

Isu Sosial dalam ESG: Dinamis dan Terus Bergerak

Fenomena oknum CEO di atas telah menunjukkan kepada kita mengenai model hubungan sederhana antara isu sosial dalam masyarakat dengan keberlanjutan sebuah bisnis. Antara lain adalah, aspek sosial merupakan salah satu elemen yang tidak kalah penting dalam sebuah bisnis untuk harus selalu diperhatikan.

Namun, bukankah kesadaran mengenai kesejahteraan sosial dengan keberlanjutan bisnis adalah hal yang tidak baru?

Sebuah tulisan oleh Neilan, Reilly, dan Fliytzpatrick pada Harvard Law School (2020) menjelaskan bahwa meskipun isu sosial sudah cukup sering dibahas dan menjadi isu yang cukup terintegrasi dalam ESG, masalah ini kerap mendapati perubahan dan perkembangan perkara yang signifikan.

The scope of ‘S’ has progressively widened over the past two decades, which reflects the evolving business environment of the 21st century where businesses and markets are increasingly interconnected and interdependent.

Tulisan ini menyampaikan bahwa ‘lensa’ sosial pada ESG mendapati perluasan yang sangat cepat pada dua dekade terakhir. Hal ini sekaligus merefleksikan perubahan pada bentuk bisnis dan pasar yang meningkat, begitu pula dengan hubungan jejaringnya pada masyarakat sosial setempat.


Baca juga: SDG, Indonesia, dan Keberlanjutan: Rapor Indonesia Tahun 2020


Dapat disederhanakan bahwa, aspek sosial cenderung untuk semakin menyatu dan terintegrasi dengan praktik bisnis dalam perusahaan: produksi, distribusi, praktik investasi, bisnis, hilir pasar, dan sebagainya. Hal ini disebabkan oleh adanya kesadaran masyarakat mengenai kesejahteraan sosial yang semakin meningkat juga.

Dengan demikian, perusahaan sebagai subjek dari bahasan ini, harus selalu bersikap terbuka dan sensitif kepada isu-isu sosial di sekitar mereka. Menolak untuk menanggapi sebuah permasalahan dari aspek tersebut dapat menghasilkan sebuah krisis yang tentunya dapat berpengaruh bagi performa perusahaan.

Karena mau bagaimana pun, risiko yang tidak termitigasi akan selalu bermanifestasi menjadi ancaman, bukan?

Lalu, kira-kira seperti apa ya contoh nyata sebuah perusahaan yang merespon dan menanggapi sebuah masalah sosial yang telah muncul di sekitarnya?

Apa saja Contoh Respon Perusahaan dalam Menanggapi Isu Sosial?

Sebagai acuan, fenomena Black Lives Matter tahun 2020 lalu dapat menciptakan sebuah gelombang kesadaran sosial yang kemudian turut diterima oleh beberapa perusahaan raksasa internasional. Apa saja bentuk-bentuknya?

    1. Airbnb: Meluncurkan “Project Lighthouse” yang bekerja sama dengan organisasi sipil masyarakat, yang didedikasikan untuk melakukan investigasi dan upaya preventif dalam segala bentuk diskriminasi karyawannya.
    2. Adidas: Berkomitmen untuk meningkatkan jumlah posisi karyawan yang berasal dari golongan masyarakat minoritas sebanyak 30%.
    3. PayPal: Berkomitmen untuk memberikan Rp5 Trilliun untuk mendukung bisnis yang dimiliki oleh golongan minoritas di Amerika Serikat.
    4. Netflix: Menyumbangkan Rp363 Miliar kepada institusi finansial golongan masyarakat termarginalkan dan komunitas berpendapatan rendah
    5. Google: Mendukung secara total akan tercapainya representasi eksekutif sekaligus perusahaan yang berasal dari golongan maupun etnis minoritas sebesar 30% pada tahun 2025.

Banyak dari pimpinan perusahaan pun memberikan inisiatif dalam skala personal dalam menanggapi isu Black Lives Matter tersebut. Apa saja contohnya?

    1. Robert Smith, CEO Vista Equity Partners, menginginkan perusahaannya untuk mengembangkan tingkat diversitas internal perusahaannya.
    2. Mellody Hobson, co-CEO dari Ariel Investments, mengatakan bahwa perusahaannya harus memiliki regulasi dan implikasi nyata pada masalah diversitas dan keikutsertaan dengan masyarakat dari golongan minoritas. Mengatakan bahwa, sedang bekerja untuk mencapai diversitas saja tidak cukup. “… Hal ini sesederhana antara kita melakukannya, atau tidak sama sekali” ujar Hobson.
    3. Ken Frazier, CEO dari Merck, menginginkan perusahaan untuk memahami bahwa jauhnya jangkauan dalam bentuk bimbingan (mentoring) sangat penting untuk perusahaan yang berkembang. Ia mengatakan bahwa

Contoh-contoh di atas tidak hanya berhenti pada masalah sosial seperti Black Lives Matter yang dicontohkan di atas. Pandemi COVID-19 pun dapat bermanifestasi dari masalah kesehatan menjadi masalah sosial yang berhubungan dengan perusahaan. Dengan kata lain, perusahaan kembali dituntut untuk selalu bergerak aktif, terbuka, dan sensitif kepada isu-isu sosial dalam bentuknya yang bervariasi.

Lalu, Apa Saja yang Bisa Disimpulkan?

Cukuplah fenomena arogansi oknum CEO yang telah disampaikan pada awal pembahasan telah memberikan kita pelajaran berharga. Bahwa, terdapat sebuah hubungan nyata antara respon masyarakat sosial sekitar dengan performa sebuah perusahaan.

Dengan kata lain, perusahaan seharusnya akan memiliki semakin banyak alasan untuk tetap bersikap pro-aktif dalam menjaga praktik bisnis dan investasinya dengan isu sosial. Hal ini disebabkan bahwa, isu sosial pun dapat bermanifestasi menjadi risiko maupun ancaman keberlanjutan sebuah perusahaan.

Bersikap pro-aktif berarti selalu mendalami, sensitif, dan terbuka atas semua fenomena sosial yang hadir di sekitar sebuah perusahaan. Menganggap permasalahan sosial sebagai isu yang klise dan penuh dengan repetisi, sama saja dengan menutup telinga dan mata perusahaan dalam memformulasikan manajemen risiko atas isu yang bersangkutan.

Bukankah secara di atas kertas, manajemen risiko perusahaan idealnya memperhitungkan semua kemungkinan buruk yang mampu hadir untuk mengganggu keberlanjutan praktik bisnisnya? Lantas, mengapa masih banyak kita temukan perusahaan maupun pemilik perusahaan yang lalai atas isu ini, ya?

Yuk, kita bersama-sama mendorong kesadaran isu sosial ini untuk mendukung gerakan #HumanizingHuman

***