Food Waste adalah hal yang selalu ketinggalan dan seharusnya kita pikirkan pada saat bulan Ramadhan ini. Lalu, mengapa fenomena ini adalah isu dengan urgensi penyingkapan yang cukup darurat?
Highlights:
- Food waste yang selalu menghantui kita semua
- Food waste berhubungan dengan 17 elemen SDG oleh UNDP
- Apa yang sudah dilakukan?
- Kesimpulan: Harus Ada Sinergi
Fenomena Food Waste Saat Ramadhan
Tak disangka-sangka, ternyata masalah lingkungan yang merupakan hasil dari aktivitas manusia akan selalu berada di mana saja, dan kapan saja. Tak terkecuali pada bulan Ramadhan.
Bukankah dalam bulan yang suci ini, seharusnya kita justru tidak membuat masalah lingkungan yang baru?
Jika mengacu pada sebuah data statistik beberapa tahun belakangan, masalah lingkungan dalam wujud sisa makanan atau ‘food waste’ merupakan isu terjadi berkali-kali. Pada tahun 2020 sendiri, pembicara dari sebuah organisasi ‘food waste’ bernama Garda Pangan mengatakan bahwa Indonesia mengalami peningkatan sampah makanan sebesar 20% dari total keseluruhan. (https://klikhijau.com/read/sampah-makanan-di-bulan-puasa/)
Sebagai perumpamaan, DKI Jakarta saja dapat memproduksi 7.700 ton sampah perharinya. Maka, peningkatan 20% itu sendiri bisa sebesar 1.300 ton sampah makanan per harinya!
Statistik ini pun tidak berhenti di Indonesia saja. Solid Waste and Public Cleansing Management Corporation (SWCorp) di Malaysia pun menginformasikan bahwa angka sampah makanan akan terus bertambah sebesar 15-20% pada setiap tahunnya.
Mohd Pauze, selaku chief executive officer dari SWCorp menjelaskan, makanan yang tidak habis merupakan pendonor fenomena utama ‘food waste’ ini dengan angka yang mencengangkan sebesar 44.5%. Sehingga, hal ini tidak hanya melanggar norma agama dan berdampak secara ekonomi, namun hal ini pun juga memberikan dampak negatif terhadap lingkungan.
Bagaimana tidak? Makanan yang tidak habis ini akan berakhir di tempat pembuangan sampah, yang kemudian akan menghasilkan gas metana yang berbahaya bagi lingkungan.
Perlu diketahui bahwa satu dari tiga makanan layak guna yang ada di dunia, berakhir pada tempat sampah. Tentunya bisa dibayangkan betapa banyak gas metana berbahaya yang dihasilkan dari hal ini, bukan?
Sehingga bisa disimpulkan bahwa masasalah fenomena ‘food waste’ memiliki keterkaitan erat dengan keberlangsungan lingkungan.
Lalu, apakah hal ini juga disinggung dalam 17 aspek SDG? Padahal, keberlangsungan lingkungan merupakan salah satu aspek SDG yang wajib dipenuhi Indonesia tahun 2030.
Apa Hubungan ‘Food Waste’ dengan 17 elemen SDG oleh UNDP?
Jika kita menggunakan keberlangsungan pangan sebagai isu yang ingin dibahas, terdapat beberapa elemen lain yang secara tidak langsung turut terbahas dalam diskusi ini. Dalam buku laporan The Economist tahun 2018, dijelaskan bahwa isu Zero Hunger (SDG #2), turut membahas berupa masalah distribusi nutrisi, kesehatan dan kesejahteraan (SDG #3), climate action (SDG #13), kehidupan di bawah air (SDG #14), dan berlangsungnya kehidupan di darat (SDG #15).
Sebagai elaborasi sederhana, Zero Hunger melihat fenomena food waste sebagai hal yang harus mendapatkan pengecilan angka statistik yang serius. Hal ini disebabkan statistik kelaparan dunia akan mampu lebih mudah diatasi jika kita semua mampu secara efisien menggunakan persediaan pangan yang dibutuhkan.
SDG distribusi nutrisi, kesehatan dan kesejahteraan pun turut demikian. Tidak hanya jumlah kelaparan dunia, tingginya kesenjangan distribusi nutrisi dan kesehatan yang diikuti dengan tingginya jumlah food waste adalah ironi yang harus segera kita berantas bersama.
Baca juga: ESG, Indonesia, dan Keberlanjutan: Rapor Indonesia Tahun 2020
Food waste pun merupakan masalah yang tidak bermula pada satu titik dan berhenti pada titik lainnya. Masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan, khususnya, adalah masalah yang selalu mendapatkan perhatian besar dari fenomena food waste ini. Bagaimana tidak? Bahan yang seharusnya bisa kita konsumsi, justru kita buang sehingga bermanifestasi menjadi sampah yang merusak dan berdampak negatif bagi bumi ini.
Dengan demikian, bukankah masalah food waste adalah masalah yang sangat besar untuk dihadapi?
Hal ini pun turut ditekankan oleh seseorang yang terkemuka di bidang agrikultur global, Ertharin Cousin, yang mengatakan bahwa pembahasan masalah ini tidak akan bermula dari satu titik dan berakhir di satu titik juga.
“it’s all very much linked. If we do not address the challenges of a broken food system, we won’t achieve any from of planetary health or human health”.
Ertharin Cousin menekankan bahwa masalah pangan adalah isu yang sama dengan krisis keberlanjutan lain: tidak akan ada kehidupan lagi untuk esok hari, jika kita gagal merespon risiko dan ancaman pada hari ini dan kemarin.
Langkah Untuk Mengurangi Food Waste Sebagai Tanggung Jawab Bersama
Makanan yang telah kita konsumsi adalah hasil akhir dari segala proses produksi, distribusi, maupun segala bentuk industri maupun bisnis yang berhubungan dengan pangan. Lantas, apa artinya?
Baik perusahaan maupun individu, keduanya berada pada lingkaran distribusi maupun konsumsi bahan pangan, yang tidak dapat dipungkiri lagi, sebagiannya berakhir terbuang sia-sia.
Pertanyaannya adalah, apakah langkah yang dapat direkomendasikan untuk merespon masalah fenomena ‘food waste’ tersebut?
Pertama, sebuah laporan oleh The Economist pada tahun 2018 berjudul Fixing the Food telah memberikan beberapa gagasan terhadap pertanyaan ini.
Pertama, perusahaan dapat menerapkan pendekatan baru dalam sistem produksi panen mereka. Sebuah konsep bernama Tanzanian Maize Value Chain, sebagai contohnya, menggagaskan beberapa perubahan pendekatan dalam sistem mereka.
Beberapa dari hal tersebut antara lain adalah menggagaskan teknologi yang lebih modern pada bagian penyimpanan, menguatkan dan meningkatkan hubungan para petani dengan pasar agrikultur.
Sebuah perusahaan milik Amerika Serikat di Uganda pun mulai menerapkan riset hasil laboratorium mereka dengan tujuan untuk mengurangi ‘food waste’ pasca-panen. Manifestasi dari penerapan riset ini pun termasuk dalam pelatihan atau workshops bagi petani dalam proses panen, pemisahan, pengeringan, hingga penyimpanan.
Kedua, kita semua juga harus fokus pada masalah major terbesar lainnya: konsumen, atau diri kita sendiri. Meskipun telah dilaporkan bahwa kesadaran untuk mengurangi ‘food waste’ sudah mulai meningkat di kalangan masyarakat global, hal ini saja tidak cukup. Mengapa demikian?
Jika mengacu pada Departemen Agrikultur Amerika Serikat, terhitung kira-kira terdapat 30-40% pasokan makanan yang terbuang secara sia-sia di Amerika Serikat. Tentunya, presentase ini bukanlah hal yang kecil jika dibandingkan dengan presentase krisis pangan dunia dan masalah lingkungan yang disebabkan oleh fenomena ‘food waste’ itu sendiri. **ini better datanya tentang sampah rumah tangga**
Tidak hanya itu. The Economist melalui artikelnya turut menyebutkan bahwa ternyata fenomena ‘food waste’ adalah fenomena ‘financial waste’. The Economist menggunakan Inggris sebagai contoh sampelnya, dengan estimasi kerugian konsumen yang mencapai IDR290 Trilliun (US$19.7 miliar).
Baca juga: GOJEK dan Tokopedia: Lighthouse Indonesia untuk Isu ESG
Dari besarnya uang yang terbuang sia-sia ini, tentunya kita mulai memahami bahwa kesadaran untuk mengurangi ‘food waste’ pun tidak cukup. Pemerintah harus bisa menerapkan kebijakan yang kuat untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan oleh masyarakat dari ‘food waste’ ini. **pemerintah ini gak masuk ke poin konsumen. better dibuat poin sendiri**
Tidak hanya berhenti secara domestik, organisasi regional maupun internasional pun dapat bersinergi untuk secara kolektif merespon masalah ini bersama dengan negara-negara anggotanya.
Kesimpulannya? Perlu adanya Sinergi Keberlangsungan dan Kebaikan
Bukankah suatu hal yang tidak jarang didengar dari orang tua kita untuk selalu menghabiskan makanan yang kita ambil?
Selain bentuk syukur kita pada hadirnya makanan di atas piring kita, menghabiskan makanan pun adalah sebuah bentuk terima kasih kepada semua petani yang telah bekerja dan bersusah-payah untuk memastikan ketersediaan bahan pangan untuk semua orang.
Jika demikian, bukankah kesadaran kita untuk selalu mengurangi terbuangnya makanan tidak harus menunggu fakta bahwa kita sebenarnya sedang merusak lingkungan?
Atau, seperti menunggu sebuah pemahaman bahwa dengan membuang makanan, sebenarnya kita layaknya sedang membuang uang kita?
Kesadaran bahwa setiap perilaku akan selalu diiringi dengan konsekuensi adalah pola pikir yang harus selalu dididik serta diterapkan, kepada siapapun, kapanpun, dan dimanapun.
Matangnya pola pikir ini pun tidak akan hanya berhenti di invidividu, namun dapat bermanifestasi hingga dalam bentuk kelompok maupun organisasi perusahaan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara kolektif, kita semua dapat menjadi solusi bagi masalah kompleks yang terkesan tiada henti ini. Bukankah jika kita yang memulai, kita juga yang harus mengakhiri?
***