Apakah pernah terpikirkan di benak kita mengapa masih ada beberapa perusahaan yang acuh dan tidak peduli dengan prinsip pembangunan berkelanjutan? Dalam artikel ini, kita akan membahas permasalahan ini dengan sebuah alternatif perspektif bernama fiduciary duty.
—
Hubungan positif antara kriteria ESG dengan corporate financial performance (CFP) sudah dapat diobservasi sejak awal 1970. Penelitian dari Friede (2015), mengatakan bahwa perusahaan yang menggunakan kriteria gabungan ini cenderung memiliki nilai finansial yang positif.
Kesimpulan ini merupakan hasil penelitian komprehensif mereka dengan melakukan analisis performa finansial perusahaan melalui +2200 studi sebelumnya. Dari total sampel, ditemukan terdapat 90% perusahaan memiliki hubungan positif antara prinsip ESG dengan CFP.
Grafik 1. Visualisasi Tren Perusahaan berupa Investasi dengan Kriteria ESG tahun 1972 – 2012, oleh Friede (2015)
Selain angka yang positif, Friede turut menemukan meningkatnya kesadaran perusahaan untuk menggunakan kriteria ESG dalam investasinya. Terlepas dari hasil akhir berupa performa finansial perusahaan, tabel di atas menunjukkan meningkatnya tren perusahaan dengan isu ESG dari tahun 1972 hingga 2012.
Namun, permasalahan pun masih tetap terlihat. Sejauh ini, patut dipahami bahwa selain ESG mampu memberikan hasil CFP yang lebih tinggi, turut terlihat peningkatan tren investasi berprinsip ESG.
Lantas mengapa masih terdapat perusahaan yang belum menggunakan kriteria tersebut dalam investasi dan pengembangannya?
Tiga peneliti dari Cambridge University, Martindale, Feller, dan Sullivan menawarkan Fiduciary Duty sebagai perspektif untuk menjawab pertanyaan ini. Perspektif ini memiliki beberapa faktor atau variabel yang harus dikonsiderasikan oleh sebuah perusahaan sebelum menggunakan prinsip ESG.
Konsep fiduciary duty merupakan sebuah obligasi yang diturunkan kepada entitas untuk menjaga kepercayaan, kesetiaan, keterbukaan, dan kerahasiaan ke pada rekan kerja. Seiring berkembangnya zaman, konsep fiduciary duty pun turut bertransformasi. Terintegrasinya kriteria ESG pada konsep fiduciary duty perusahaan merupakan salah satu tantangan baru dan komitmen besar bagi sektor industri dan bisnis.
Adapun empat faktor pada permasalahan tersebut adalah: 1) Bertambahnya Komitmen Perusahaan untuk Fiduciary Duty dan ESG; 2) Perubahan Hukum Legal dan Kebijakan dalam Praktik Investasi; 3) Resiko Dua Arah Investasi Isu ESG; dan 4) ESG yang merubah bentuk praktik investasi
Bertambahnya Komitmen Perusahaan untuk Fiduciary Duty dan ESG
Hasil integrasi kriteria ESG dan fiduciary duty menghasilkan sebuah tingkat komitmen yang berbeda dibanding sebelumnya. Pada definisi sebelumnya, perusahaan melalui fiduciary duty nya cukup fokus dalam komitmennya mengenai manfaat, loyalitas, dukungan dan transparansi terhadap investor. Sedangkan pada definisi yang lebih modern, kriteria lingkungan, sosial, dan governance merupakan aspek tambahan yang harus mendapatkan komitmen dari perusahaan.
Adapun proses Integrasi ke dalam obligasi baru ini dapat diperhatikan pada bagan berikut:
Grafik 2. Rekam Masa Terintegrasinya ESG dalam Fiduciary Duty Perusahaan
Pada tahun 2005, The United Nations Environment Programme Finance Initiative (UNEP) menerbitkan sebuah kerangka legal dengan agenda untuk mengintegrasikan isu ESG.Agenda ini dikhususkan untuk investor institusi. Integrasi adalah ditunjukkan untuk lebih mudah memprediksi Company Financial Performance (CFP) dan transparansi sebuah perusahaan.
Pada tahun 2009, kerangka hukum tersebut mendapatkan penambahan pembahasan. Pembahasan tambahan tersebut berupa agenda ESG untuk turut terintegrasikan pada proses investasi perusahaan. Hal ini termasuk pada hak untuk pembuatan kebijakan dan manajemen kontrak perusahaan. Hal ini merupakan momen penting dalam masuknya kriteria ESG dalam obligasi perusahaan.
Tahun 2015 pun pembahasan penggabungan kriteria ESG dengan konsep fiduciary duty mulai terlihat. Integrasi kriteria ESG pada konsep fiduciary duty pun sedikit merevolusi dari definisi klasiknya. Definisi klasik ini lebih menekankan pada kewajiban perusahaan untuk berkomitmen pada manfaat, loyalitas, transparansi, dan dukungan terhadap investor.
Sedangkan, definisi baru dari hasil integrasi ini menempatkan kriteria ESG sebagai entitas yang harus turut mendapatkan komitmen, loyalitas, dukungan, dan transparansi perusahaan. Pada tahun 2016, kedua konsep tersebut pun dapat terintegrasi dengan nama “fiduciary duty in 21st century”.
Perubahan Legal Hukum dan Kebijakan dalam Praktik Investasi
Perusahaan mendapatkan tantangan baru untuk mengadaptasikan dan mengimplementasikan setiap adanya perubahan hukum & kebijakan yang baru. Martindale, Feller, dan Sullivan pun mengutip data milik PRI (2019) yang mengestimasikan pada bahwa terdapat 730 perubahan hukum internasional pada praktik sebuah perusahaan.
Selain itu, terdapat 500 instrumen kebijakan yang mendapatkan revisi untuk memiliki nilai jangka panjang yang berkelanjutan. Hal ini khususnya termasuk nilai yang terkandung pada konsep ESG. Perubahan dan revisi ini secara khusus turut ditujukan untuk mendukung investor pada praktik investasinya. Tentu saja, hal ini dalam bentuk investasi yang berkelanjutan dan pemahaman tentang manajemen resiko dengan kriteria dari konsep ESG.
Bagan di bawah menunjukkan total akumulasi perubahan kebijakan dan hukum pada perusahaan pada tahun 1972 – 2018:
Grafik 3. Akumulasi Angka Perubahan Kebijakan dan Hukum demi Investasi yang Berkelanjutan, oleh Martindale (2020)
Dari total seluruh perubahan dan revisi peraturan pada bagan 3 memiliki tiga fokus utama.
Perubahan pertama diarahkan pada regulasi dana penisun. Hal ini disebabkan dana pensiun sangat sensitif mengenai hadirnya komitmen dan tanggung jawab yang harus diterapkan. Sehingga, revisi ini berusaha untuk mendorong adanya praktik investasi yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab pada perusahaan dan manajemennya. Persyaratan untuk memperhitungkan kebutuhan dan kepentingan penerima manfaat juga merupakan revisi yang diberikan pada sektor ini.
Perubahaan kedua adalah kode penatagunaan yang bertujuan untuk mengatur atau mengarahkan interaksi antara investor dan perusahaan investee. Hal ini bertujuan untuk mempromosikan strategi penciptaan nilai jangka panjang yang berkelanjutan.
Perubahan ketiga berupa penekanan dan kewajiban bagi perusahaan untuk membahas mengenai isu yang spesifik pada perusahaan yang terkait. Sehingga, masalah ESG dan bentuk penyingkapannya harus termasuk dalam laporan tahunan sebuah perusahaan.
Resiko Dua Arah Investasi Isu ESG
Bentuk hubungan positif antara ESG dan performa finansial yang positif bukanlah satu-satunya hal yang dikonsiderasikan oleh sebuah perusahaan. Martindale, Feller, dan Sullivan menekankan bahwa kegagalan perusahaan dalam komitmen dan manajemennya atas menyingkapi isu ESG merupakan sebuah resiko yang sangat besar dan patut untuk dikonsiderasikan ulang. Konsiderasi ini merupakan salah satu faktor mengapa belum semua perusahaan menerapkan konsep investasi berkriteria ESG.
Resiko yang telah termanifestasi menjadi kenyataan pun sudah terjadi dalam beberapa kasus. Sebagai contoh, Martindale dkk mencontohkan skandal kasus Volkswagen AG yang mengakibatkan turunnya nilai saham mereka sebesar 28.4%. Skandal ini berupa manipulasi data ESG, dengan mengubah sistem perangkat lunak kendaraan Volkswagen sehingga memanipulasi data emisi gas karbon yang diproduksi.
Melalui bagan 4 di bawah, dapat diproyeksikan betapa besar konsekuensi yang harus dibayar oleh Volkswagen karena kegagalan komitmen mereka pada isu ESG:
Grafik 4. Perbandingan Nilai Saham Volkswagen dan Kompetitor Sebelum dan Sesudah Skandal Emisi Gas (Sumber: bruegel.org, 2015)
Jika diestimasikan, maka Volkswagen telah kehilangan $30 juta atau setara dengan Rp421 miliar. Konsekuensi lain yang terlihat jelas adalah berkurangnya pembelian mobil bertenaga diesel di Eropa. Selain itu, brand mobil ternama yang dimiliki oleh Volkswagen seperti Audi, Porsche, Skoda, dan Seat pun tercoreng.
Brumadinho Mine Disaster, Deepwater Horizon spill, dan Kobe Steel Scandal merupakan beberapa kasus bagaimana perusahaan yang telah mengikuti kriteria ESG telah gagal untuk melangsungkan komitmennya pada isu-isu terkait.
ESG yang mengubah bentuk praktik investasi
Semakin terintegrasinya ESG dalam perusahaan, maka makin bertambahnya aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam praktik investasinya. Isu ini merupakan salah satu faktor yang berakhir pada konsiderasi perusahaan sebelum memutuskan untuk berkomitmen kepada investasi ESG. Hal ini diidentifikasi oleh Martindale, Feller, dan Sullivan melalui jumlah akumulasi perusahaan yang menyetujui dan menandatangani prinsip-prinsip oleh PRI.
Adapun PRI merupakan salah satu instrumen PBB yang memberikan panggung bagi para investor untuk secara kolektif mengimplementasikan bentuk investasi yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Melalui data oleh PRI, ditemukan bahwa sudah terdapat 2.500 tanda tangan yang menyetujui konsep investasi yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. 2.500 dari tanda tangan ini terdiri 356 pemilik aset dan 1.823 manajer aset.
Penyetujuan dalam bentuk penandatanganan ini mengharuskan entitas yang terkait untuk mengikuti prinsip-prinsip yang telah ditentukan.
Hal ini termasuk dalam menyatukan isu ESG dengan analisa investasi dan pengambilan keputusan. Martindale, Feller, dan Sullivan juga mencatat bahwa PRI mengharuskan pemilik perusahaan untuk mampu mencerminkan kebijakan dan praktik mereka sesuai dengan prinsip tersebut. Hal-hal ini ditunjang dengan aktivitas dan implementasi dari progres yang tercatat dan dapat dilaporkan.
Dengan keseluruhan bentuk investasi yang berubah ditambah dengan bobotnya yang bertambah, Martindale, Feller, dan Sullivan pun meyakini bahwa tidak semua perusahaan memiliki kapasitas untuk berkomitmen atas isu ESG. Hal ini disebabkan ekspektasi perusahaan semakin meningkat, berhubung belum semua perusahaan dapat memberikan performa yang baik pada konsep fiduciary duty model klasik.
Sebagai kesimpulan, perusahaan yang ingin mengintegrasikan ESG dalam praktiknya harus mengkonsiderasikan beberapa aspek. Martindale, Feller, dan Sullivan pun telah menyimpulkan beberapa aspek tersebut sehingga mudah untuk diikuti dan dikonsiderasikan oleh perusahaan. Adapun aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut:
- Meletakkan isu-isu LST ke dalam analisis investasi dan proses pengambilan keputusan, sesuai dengan jangka waktu investasi mereka;
- Mendorong standar dan performa kerja ESG yang tinggi di perusahaan atau entitas lainnya di perusahaan yang mendapatkan investasi ESG;
- Mendukung stabilitas dan ketahanan sistem finansial;
- Memahami dan meletakkan preferensi terkait keberlanjutan penerima dan penabung; dan
- Melaporkan mengenai bagaimana perusahaan terkait telah mengimplementasikan komitmen-komitmen tersebut
***
Referensi:
- Friede, G., Busch, T., & Bassen, A. (2015). ESG and Financial Performance: Aggregated Evidence from more than 2000 Empirical Studies. Journal of Sustainable Finance & Investment, 5:4, 210-233. doi:10.1080/20430795.2015.1118917
- Martindale, W., Feller, E., & Sullivan, R. (2020). ESG Risks and Opportunities: A Fiduciary Perspective. Making the Financial System Sustainable, 168-195. doi:https://doi.org/10.1017/9781108908269.011
- Riley, C. (2017, September 29). Volkswagen Diesel Scandal Costs Hit $30 billion. Retrieved from CNN Business: https://money.cnn.com/2017/09/29/investing/volkswagen-diesel-cost-30-billion/index.html
- PRI, UNEP FI and The Generation Foundation (2019), ‘Fiduciary Duty in the 21st Century’ www.unepfi.org/wordpress/wp-content/uploads/2019/10/Fiduciaryduty-21st-century-final-report.pdf.
- PRI, UNEP FI, UN Global Compact and UNEP Inquiry into the Design of a Sustainable Financial System (2015), ‘Fiduciary Duty in the 21st Century’. www.unepfi.org/fileadmin/documents/fiduciary_duty_21st_century.pdf.
- Vaccarino, E., & Bruegel. (2015, September 26). The impact of Volkswagen on the automobile stock market. Retrieved from Bruegel: https://www.bruegel.org/2015/09/chart-of-the-week-the-impact-of-volkswagen-on-the-automobile-stock-market/
Baca juga: