ESG dan Tesla di Indonesia rupanya tidak memiliki hubungan yang harmonis. Hampir genap dua minggu setelah dikabarkan bahwa salah satu perusahaan milik Elon Musk, Tesla, telah menolak untuk berinvestasi di Indonesia perihal Indeks ESG kita yang masih minimal.
Informasi ini kemudian dilanjutkan dengan kabar bahwa Tesla secara resmi telah berpaling dari Indonesia dan menunjuk India sebagai negara rekan investasinya. Investasi mega-besar Tesla dalam industri nikel pun akhirnya jatuh ke tangan Negeri Bolywood tersebut, yang tentunya sangat disayangkan untuk terjadi. Bagaimana tidak? Investasi raksasa tersebut pasti akan membawa manfaat ekonomi yang besar bagi Indonesia.
Keputusan ini tentunya mendapati tanda tanya besar oleh Indonesia. Pasalnya, Indonesia adalah negara penghasil nikel terbesar di dunia. Indonesia sendiri mampu menghasilkan 800.000 ton nikel pada tahun 2019, dan 606.000 ribu ton pada tahun 2018. India justru tidak termasuk ke dalam 10 negara penghasil nikel terbesar dalam kurun waktu 2018 hingga 2019 kemarin.
Lantas, apa yang kurang dengan Indonesia?
Tesla Mewajibkan Sustainable Investing & Development
Dua tahun ini, kita semua telah diingatkan betapa rentannya kehidupan manusia saat alam pun merebut kendali penuh: Melalui pandemi. Dunia pun seakan berhenti, kita pun ikut bersembunyi, di dalam sangkar kecil yang kita sebut rumah sendiri.
Resiliensi dan ketahanan negara pun mendapatkan sorotan besar. Pasalnya, Amerika Serikat sebagai sebuah negara dengan gelar adidaya atas dekade terakhir ini pun terbukti gagal dalam menyingkapi fenomena pandemi ini. Hal ini pun belum membahas mengenai masalah ketidakadilan sosial yang kerap menjadi masalah di Amerika Serikat, yang akhirnya tersuarakan pada protes Black Lives Matter mereka.
Cina pun demikian. Negara yang diyakini memiliki kapasitas dalam menyaingi Amerika Serikat ini pun dibuat diam tak berkutik atas pandemi yang tak terkontrol. Salah satu penggerak ekonomi terbesar di dunia pun timbang, tak bergerak.
Tentunya, hal ini mengingatkan kita atas keberlanjutan manusia yang sebenarnya selaras dengan keberlangsungan dan kesejahteraan lingkungan. Dengan kata lain, aspek ini harus saling berjalan dan berprogres secara beriringan untuk tetap terjaganya keseimbangan dan keberlanjutan kehidupan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa melihat ini sebagai sebuah urgensi, sebuah sinyal darurat, untuk saling disingkapi secara kolektif. PBB pun memiliki sebuah rancangan dengan satu tujuan utama: 0% emisi gas karbon pada tahun 2030. Untuk mencapai hal ini, 17 elemen SDG pun telah dirancang, yang didefinisikan sebagai 17 variabel yang berhubungan dengan tujuan utama tersebut.
Idealnya, setiap negara pun harus melihat ini sebagai urgensi. Kebutuhan urgensi ini kemudian seharusnya harus diimplikasikan pada perancangan kebijakan negara, baik dalam berpolitik, berdaulat, dan berekonomi.
Namun, kenyataannya di Indonesia justru mendapati hal yang cukup berbalik dengan kondisi idealnya. Masih dengan mudahnya kita melihat industri-industri raksasa di Indonesia yang bersifat eksploitatif dan merusak lingkungan adalah indikator sederhana bahwa kita masih berada pada spektrum perkembangan yang berlawanan.
Hal ini sangat menyulitkan Indonesia untuk menjalin kerja sama dengan Tesla. Hal ini disebabkan salah satu persyaratan mereka untuk berinvestasi dalam industri nikel di sini adalah dengan negara atau entitas terkait untuk turut memiliki komitmen mereka atas kesehatan dan keseimbangan lingkungan. Kenyataannya, hal ini sangat berbeda dengan kondisi kita saat ini.
Tentunya, syarat sustainable investment ini bukanlah hal yang baru bagi Indonesia. Namun, Tesla menilai bahwa Indonesia masih memiliki standar perkembangan dan investasi berbasis keberlanjutan yang cukup rendah.
Baca juga: Pembangunan Berkelanjutan dan Tantangan Institusi Internasional
Sebuah studi pada tahun 2018 secara eksplisit menunjukkan bahwa Indonesia memiliki indikator sebesar 93.3% pada ketergantungannya dengan bahan bakar fosil non-terbarukan. Hal ini memiliki beberapa implikasi setelahnya: Pertama, Indonesia masih sangat mengandalkan energi yang tidak terbarukan tanpa ada rencana kedua sehigga menghasilkan energy dilemma; dan kedua, hal ini berarti Indonesia masih sangat aktif dalam menghasilkan emisi karbon dalam jumlah yang cukup besar.
Tidak hanya itu, Indonesia pun saat ini sedang mengalami krisis lingkungan. Resiliensi dan ketahanan nasional pun menjadi pertaruhannya. Pasalnya, 2020 merupakan tahun yang buruk mengingat respon domestik yang sangat terlambat dan pelan mengenai pandemi covid-19 ini. Namun, 2021 justru dibuka dengan berbagai bencana alam.
Penyebabnya? Tidak lain dan tidak bukan diyakini masih dari masalah klasik yang sama: eksploitasi lingkungan. Contoh sederhananya, 1.7 juta hektar atau 33% dari total wilayah Kalimantan Selatan telah beralih menjadi industri pertambangan, kelapa sawit, dan sebagainya. Hal ini pun belum membahas dampak sosial yang dirasakan oleh Suku Dayak dalam, yang notabene masih menggunakan hutan dan alam sebagai tempat tinggal mereka.
Mimpi buruk kita tidak selesai sampai di sini saja. Tercetusnya kebijakan Omnibus Law pun hadir layaknya tertimpa tangga saat sudah terjatuh. Hal ini tentunya mendapati kritikan baik dari sisi investor global maupun aktivitas alam dan sosial. Bagaimana tidak? Regulasi ini akan semakin mengokohkan posisi Indonesia untuk bertolak pinggang dan berada pada sisi yang berbeda.
ESG Berlawanan dengan Regulasi Omnibus Law?
ESG Index merupakan sebuah indeks investasi baru dalam industri ekonomi dan bisnis yang turut memperhitungkan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan di dalamnya. Dengan kata lain, perusahaan juga harus dituntut dalam komitmennya untuk menjaga aspek-aspek tersebut sebagaimana perusahaan berkomitmen dengan para investor tersebut.
Kriteria lingkungan dalam ESG index ini mewajibkan sebuah perusahaan untuk dapat memetakan dampak lingkungan yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas perusahaan. Dengan sebuah prinsip dan komitmen bahwa lingkungan dan keeseimbangan ekosistem sekitar adalah prioritas, tentunya manajemen akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang meresonansikan keinginan yang serupa.
Kriteria sosial dalam ESG pun memiliki pendekatan yang serupa: perusahaan juga harus selalu sensitif, memahami, mendalami, dan mempelajari mengenai isu sosial baik yang bersifat internal maupun eksternal. Pasalnya, citra atau nama baik tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan saja. Kriteria sosial pun memiliki signifikansi yang besar dalam perusahaan, dan sangat berhubungan dengan keberlanjutan dan nilai dari sebuah perusahaan.
Kriteria terakhir, tata kelola perusahaan, memokuskan pada baik atau tidaknya manajemen sebuah perusahaan. Transparansi, model metode akuntansi yang jelas, hubungan baik antara CEO dan pemilik perusahaan, dan regulasi yang mengikat adalah hal yang sangat ditonjolkan pada kriteria perusahaan yang baik.
Lantas, apakah hubungan ESG tersebut dengan omnibus law?
Seperti yang telah kita pahami sebelumnya, ESG memiliki tiga titik berat dalam pembahasannya: lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan. Tiga aspek ini lah yang berusaha untuk selalu mendapatkan perhatian serta komitmen lebih untuk dijaga oleh perusahaan maupun negara. Dengan kata lain, selaras dengan syarat Tesla untuk berinvestasi di Indonesia: Sustainable Investment.
Namun, kenyataannya hal ini justru berbanding terbalik dengan Omibus Law.
“Omnibus Law melanggar prinsip non-regresi dalam prinsip pembangunan berkelanjutan, dimana suatu negara tidak boleh menerapkan peraturan yang akan mendiskriminasi hak atas lingkungan yang baik dan sehat, serta pengendalian dan pencegahan dampak lingkungan.”
Pada tanggal 13 Juli 2020 lalu, kelompok masyarakat sipil Indonesia telah melayangkan surat kepada institusi finansial internasional perihal telah diratifikasinya regulasi Omnibus Law. Pasalnya, regulasi ini justru menyulitkan perkembangan industri bisnis Indonesia yang bersifat long-term dan sensitif terhadap lingkungan dan sosial.
Kelompok masyarakat sipil Indonesia di atas pun melayangkan hal ini untuk menciptakan boomerang effect pada investor-investor global.
Adapun yang dimaksud dengan boomerang effect adalah upaya kelompok masyarakat maupun entitas tertentu yang melayangkan informasi yang bersifat domestik kepada organisasi maupun aktor internasional lain, sehingga mendapatkan perhatian publik internasional yang lebih besar dan menekan. Dalam hal ini, tujuannya adalah untuk menekan regulasi omnibus law ini untuk tidak diratifikasi melalui tekanan oleh institusi finansial dan investor internasional.
Bagaimana tidak? Regulasi ini diproyeksikan akan merendahkan standar dan komitmen sektor bisnis di Indonesia terhadap aspek lingkungan dan sosial. Secara tidak langsung, hal ini semakin menjauhkan Indonesia dari index standar global dalam investasi yang berkelanjutan. Dengan kata lain, hal ini sangat bertolak belakang dengan kriteria ESG.
Tidak hanya itu. Regulasi ini pun secara tidak langsung akan mengundang investor-investor yang kurang memiliki rasa tanggung-jawab atas dampak negatif perusahaan terhadap lingkungan dan sosial. A setback of sustainable development, ujar Isna Fatimah selaku Wakil Direktur untuk Pengembangan Program Indonesian Center for Environmental Law.
Sebagai kesimpulan, jika kita menelaah lagi mengenai formulasi kebijakan Omnibus Law, bukan perkara yang sukar lagi untuk menjawab mengapa Tesla menolak untuk berinvestasi industri nikel di Indonesia. Sebagai salah satu perusahaan terbesar di dunia yang mengedepankan kesehatan lingkungan dan sosial, tentunya ESG index adalah kriteria yang sangat diperhatikan pada proses praktik investasinya.
Indonesia terbukti belum siap. Baik untuk Tesla, untuk ESG Investing, bahkan untuk keberlangsungan kita sendiri. Namun, sampai kapankah hal ini akan terus kita normalisasi?
***