Citra Negara AS

Lingkungan & Citra Negara: AS dan Paris Agreement

Konsep ESG menjelaskan bagaimana konsep sustainable investing turut melihat beberapa dimensi. Salah satunya adalah isu lingkungan yang berkelanjutan, sebagai sebuah aspek yang harus dikonsiderasikan dan dipikirkan dalam perkembangan sebuah bisnis. Hal ini pun tertuang pada Februari 2005, oleh Kofi Annan, yang pada saat itu berperan sebagai Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Beliau mengatakan bahwa jika kita gagal untuk menyingkapi isu perubahan iklim, tidak akan ada bangsa yang mampu untuk berkembang secara berkelanjutan.

Jauh sebelum pernyataan di atas, Liga Bangsa-Bangsa melalui WMO pada tahun 1979 telah melakukan sebuah pertemuan mengenai krisis perubahan cuaca. Terobosan mengenai isu ini pun melahirkan banyak kepentingan multilateral yang kemudian turut didukung oleh PBB dan instrumen-instrumennya: Second and Third World Climate Conference (1990 & 2009), United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC), Kyoto Protocol, Global Climate Observing System (GCOS), dan termasuk Paris Agreement 2015.

Yang menjadi permasalahan global adalah bagaimana Amerika Serikat pada tahun 2017 memutuskan untuk menarik diri dari Paris Agreement 2015. Peristiwa penarikan diri Amerika Serikat dari Paris Agreement menghasilkan sebuah kondisi yang sarat akan puzzle yang menarik untuk dibahas. Hal ini disebabkan Amerika Serikat adalah ‘mercusuar’ global dalam isu sustainable investing, dengan integrasi pada elemen environment (lingkungan).

Kenyataannya, Amerika Serikat justru memutuskan untuk keluar dari Paris Agreement 2015. Fenomena ini pun mendapat kritik dan respon dari Kofi Annan pada tahun 2017. Paris Agreement merupakan persetujuan yang lahir dari efektifnya multilateralisme global dan keinginan untuk melakukan kerja sama sebagai solusi masalah dunia. Dengan kata lain, Amerika Serikat telah mengkhianati sebuah keinginan dan komitmen dunia.

Lantas, mengapa Amerika Serikat secara absurd menarik diri dari Paris Agreement tersebut?

Perspektif Human Security dan Hubungannya dengan Lingkungan

Terdapat beragam perspektif yang mampu diangkat untuk mampu menjadi kaca mata analisa sederhana dalam memahami fenomena ini. Sehingga, untuk mendapatkan pembahasan konsep sustainable investing pada elemen lingkungan, sudut pandang human security sangat menarik untuk digunakan. Secara sederhana, human security menitikberatkan pada keamanan dan keberlanjutan sebuah bangsa terletak pada dimensi non-klasik. Pembahasan perihal konflik atau ancaman perang bukan hanya isu yang memiliki urgensi besar untuk dikonsiderasikan dalam sebuah pengambilan kebijakan negara. Adapun penjelasan mengenai human security oleh Mely Caballero adala sebagai berikut.

Hadirnya urgensi dan tantangan terhadap keberlangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat dan negara yang secara khusus tidak berasal dari dimensi militer—namun berasal dari isu seperti perubahan iklim, degradasi lingkungan, lintas batas dan penipisan sumber daya, penyakit menular, bencana alam, migrasi tidak teratur, kekurangan pangan, penyelundupan manusia, perdagangan narkoba, dan bentuk kejahatan transnasional lainnya.

Dengan kata lain, konsep human security membicarakan mengenai keberlanjutan sebuah negara yang tidak hanya diuji oleh perang dan konflik persenjataan. Melainkan, turut membahas isu-isu relevan yang umumnya memiliki skala dan unit yang lebih kecil. Dimensi skala dan unit yang lebih kecil tersebut diyakini sering disalahkan sebagai sebuah permasalahan minor. Hal ini menghasilkan asumsi bahwa isu ini tidak perlu untuk dikonsiderasikan dalam formulasi kebijakan negara atau perusahaan. Namun, Caballero justru meyakini bahwa ancaman non-tradisional ini justru memiliki bahaya dan risiko yang tidak kalah dari ancaman model klasik. Hal ini ia yakini disebabkan oleh bagaimana kedaulatan sebuah negara merupakan subjek yang selalu akan diuji. Hal ini baik diuji secara internal maupun eksternal.

Secara eksternal, sebuah negara harus memikirkan dan mengkonsiderasikan bahwa ancaman dari human security umumnya merupakan ancaman transnasional atau lintas negara. Sehingga, isu ini membutuhkan upaya dan agenda yang bersifat multilateral atau antar negara, baik pada skala regional maupun internasional. Sedangkan secara internal, sebuah negara akan diuji apakah kebijakannya butuh untuk direformasi dan diubah untuk merespon sebuah bahaya baru.

Jika mengacu pada kacamata analisa di atas, muncul beberapa hipotesa yang hadir pada fenomena Amerika Serikat dan Paris Agreement. Pertama, terdapat kemungkinan bahwa Amerika Serikat belum mampu menempatkan isu human security sebagai variabel penting yang harus dikonsiderasikan. Hal ini tercerminkan pada bagaimana Amerika Serikat masih melihat pengurangan emisi karbon dan mematuhi regulasi kesepakatan Paris sebagai hal yang merugikan. Trump menambahkan bahwa Paris Aggreement justru memberikan dampak negatif secara ekonomi bagi Amerika Serikat. Trump juga menambahkan bahwa Paris Agreement telah menempatkan nilai legitimasi Amerika Serikat di mata dunia pada posisi yang lebih rendah.

Dengan menarik diri dari kesepakatan Paris 2015, Amerika Serikat menempatkan dirinya pada posisi yang berbeda. Posisi tersebut dalam bentuk penolakan terhadap dunia mengenai keberlanjutan dan kesejahteraan lingkungan. Anggahan oleh Trump di atas tentunya berbalik dengan konsep human security dan hak lingkungan. Bahwasanya, kesejahteraan lingkungan adalah hak setiap manusia. Sehingga, ancaman rusaknya lingkungan adalah ancaman terebutnya hak asasi manusia.

Dan Kedua, terdapat kemungkinan bahwa pemangku kebijakan periode Donald Trump tidak mengakui keefektivitasan gerakan multinasional. Hal ini cukup disayangkan, mengingat kapasitas dan kapabilitas Amerika Serikat sebagai status salah satu great power di dunia. Inisiatif Amerika Serikat pada dimensi institusi internasional pun pada periode-periode sebelumnya pun berbanding terbalik dengan penarikan diri ini. Idealnya, Amerika Serikat seharusnya bisa menjadi contoh atau pedoman utama di dunia. Baik bagi negara berkembang maupun maju: untuk menghadirkan kesadaran atas sustainable investing dengan ESG sebagai kerangka kebijakannya.

Negara & Manusia sebagai Aktor Pertama dan Utama untuk Lingkungan

Akan sangat baik apabila kita semua mampu memulai pembahasan pembangunan maupun bisnis yang ideal dan berkelanjutan. Melalui refleksi kembali pada konsep sustainable investing dengan ESG sebagai model operasi, serta dengan melanjutkan kembali cita-cita Kofi Annan pada tahun 2005. Kondisi ideal tersebut bisa diawali dengan menempatkan negara sebagai aktor terbesar dan pertama. Namun, turut memperhitungkan kesejahteraan dan keberlanjutan kehidupan masyarakatnya sebagai aktor yang utama. Melalui prinsip ESG yang disokong oleh pilar SDG nya, sustainable investing bukanlah sebuah pemikiran yang utopis. Sejatinya, ESG pun bukanlah sebuah konsep yang sukar untuk dilakukan dan dicapai. Selain itu, konsep ESG pun merupakan langkah yang masuk akal untuk mencapai perkembangan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Sehingga, utamanya selain negara dan sektor bisnis, masyarakat dan lingkungan pun akan merasakan manfaat yang serupa.

Konsep ESG sebagai scope utama dalam sustainable investing diyakini akan merefleksikan nilai kebijakan sebuah negara yang positif. Tentunya refleksi ini hadir baik dalam skala nasional, regional kawasan, maupun internasional. Perlu diingat kembali, bahwa eksistensi sebuah negara tidak terbatas hanya pada pengakuan de factonya. Melainkan, entitas negara turut merasuk pada kekuatan legitimasi sebagai negara yang berdaulat, berkembang, dan berkelanjutan. Hal ini pun termasuk pada bagaimana negara mengatur proses bisnis dan korporasi negaranya untuk beroperasi dan berkembang. Kegagalan negara dalam melihat ESG sebagai indikator yang harus diperhatikan pun akan memberikan dampak yang berbanding lurus.

Jika sebuah negara lalai untuk melihat ESG sebagai sebuah resiko yang harus direspon dalam pembangunannya, maka nilai legitimasinya pun juga akan terdampak. Hal ini tentunya serupa dengan isu pembahasan tulisan ini. Yaitu bagaimana legitimasi negara Amerika Serikat sebagai negara besar usai penarikan dirinya dari Paris Agreement 2015 patut untuk dipertanyakan.

***

Referensi

Anthony, M.-C., Chang, Y., & Putra, N. A. (2012). Rethinking Energy Security in Asia: A Non-Traditional View of Human Security. London: Springer.

Chakraborty, B. (2017, June 1). Paris Agreement on Climate Change: US withdraws as Trump calls it ‘unfair’. Retrieved from Fox News: https://www.foxnews.com/politics/paris-agreement-on-climate-change-us-withdraws-as-trump-calls-it-unfair

Dodds, F., & Pippard, T. (2005). Human & Environmental Security: An Agenda for Change. Sterling: Earthscan.

Kofi Annan Foundation. (2017, June 4). Paris Agreement: Donald Trump’s decision will hurt Americans. Retrieved from https://www.kofiannanfoundation.org/: https://www.kofiannanfoundation.org/annan-work/paris-agreement-decision/

Kofi Annan Foundation. (2017, June 2). The Elders condemn US for quitting Paris climate agreement: no one country can dismantle it. Retrieved from https://www.kofiannanfoundation.org/: https://www.kofiannanfoundation.org/annan-work/elders-us-quit-paris-agreement/

Baca juga:

  1. ESG, Apa Perbedaannya dengan Investasi Biasa?
  2. Apa itu ESG?
  3. ESG: Solusi untuk Limbah Plastik dan Investasi