Apakah institusi internasional memiliki peran untuk menyingkapi masalah dunia yang tidak berkelanjutan? Bagaimanakah implikasinya untuk mencapai sistem yang lebih sustainable?
Sebagai perwakilan aktor negara di dimensi yang berbeda, Institusi internasional tentunya memiliki peran untuk mengubah arah pembangunan dunia sehingga memiliki sifat pembangunan yang berkelanjutan.
PBB dalam isu ini telah mendefinisikan konsep sustainable development atau pembangunan yang berkelanjutan menjadi 17 indikator kriteria utama. Salah satu dari indikator tersebut adalah mengenai energi terbarukan yang dapat diakses dan pembangunan infrastruktur yang mendukung pada tahun 2030.
Realitanya, dunia masih memiliki rintangan yang menghalangi inisiatif ini untuk terjalankan. Salah satunya adalah penggunaan bahan bakar fosil yang tidak terbarukan, yang dimulai dari infrastrukturnya yang tidak berkelanjutan.
Sebagai contoh nyata, sumber energi dunia yang masih bertumpu pada bahan bakar fosil dan batu bara masih menjadi sebuah tren dunia yang tak kunjung mencapai titik balik. Hal ini tentunya disebabkan oleh banyak faktor.
Samantha Gross, penulis dari sebuah lembaga institusi perkembangan lingkungan yang berkelanjutan, telah menuliskan sebuah artikel untuk menjelaskan mengenai faktor-faktor tersebut. Besarnya energi yang dapat dikonversikan, kemudahan penggunaan, belum siapnya energi matahari dan angin sebagai pengganti, dan kepentingan-kepentingan politikus merupakan beberapa faktor tersebut.
Bahkan terdapat grafik oleh Hanna dan Ritchie menjukkan tren dunia mengenai penggunaan bahan bakar fosil dunia pada tahun 2019. Indonesia sendiri masih membutuhkan bahan bakar fosil untuk menghasilkan 2.325 Terawatt/jam.
Sebagai pembanding, Amerika Serikat pun menggunakan bahan bakar fosil untuk menghasilkan 21.000 Terawatt/Jam. China dengan 33.000 Terawatt/jam, Rusia 7.200 Terawatt/jam. dan India 8.600 Terawatt/jam.
Hal ini memberikan kita gambaran akan tingginya angka penggunaan energi berbahan bakar fosil yang sangat tidak berkelanjutan.
Sehingga, mencapai sistem infrastruktur global dengan konsep sustainable development tentunya bukanlah hal yang mudah. Dan tentunya, hal ini bukan menjadi masalah kepada satu aktor negara saja. Tentu saja negara-negara di dunia harus memiliki kesadaran kolektif dan rasa tanggung jawab mengenai permasalahan yang sama.
Sebagai solusinya, institusi internasional dapat digunakan sebagai instrumen setiap negara yang kemudian dapat dimanfaatkan sebagai wadah untuk menampung kesadaran yang bersifat kolektif ini. Pembentukkan norma, prinsip, maupun regulasi baik yang bersifat mengikat maupun non-mengikat pun dapat dilakukan di level ini.
Lantas, apakah masalah yang masih hadir bagi institusi internasional dan tujuannya untuk mencapai pembangunan global yang ideal?
Permasalahan yang Masih Terlalu Besar
Jika membahas mengenai signifikansi institusi internasional pada masalah ini, tentunya juga terdapat masalah-masalah global yang mengiringinya. Pada isu perkembangan negara berkembang melalui investasi yang sustainable, UNCTAD merupakan salah satu aktor yang berusaha mendorong isu ini agar selalu relevan di mata dunia internasional.
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) adalah lembaga bagian dari PBB yang berusaha untuk meningkatkan praktik perdagangan dan investasi khususnya pada negara-negara berkembang. UNCTAD turut berusaha untuk mengoptimalkan praktik dagang dan bentuk investasi yang sustainable sehingga mempermudah masuknya negara berkembang dalam sistem internasional.
UNCTAD turut mencatat besar-kecilnya investasi yang masuk kepada negara yang berkembang disertai indikator yang disesuaikan melalui data faktual.
Zorlu pun mencatat bahwa meskipun cukup banyak bentuk investasi yang masuk untuk membahas isu ESG, masih ditemui gap yang cukup besar di dalamnya. Hal ini terlihat pada bagaimnana estimasi jumlah investasi yang masuk tidak sesuai dengan estimasi jumlah investasi yang dibutuhkan.
Tabel 1. Jumlah Ideal dan Realita Investasi yang dibutuhkan untuk Negara Berkembang tahun 2014 (UNCTAD, 2014)
Data oleh UNCTED di atas menunjukkan bahwa investasi yang dibutuhkan untuk memulai perkembangan yang berkelanjutan masih belum mencapai angka yang ideal. Dari USD3.3-4.7T yang dibutuhkan, hanya Rp1.4T atau 36% dari total ideal investasi yang berhasil terkumpul.
Transportasi, sumber energi, telekomunikasi, keamanan pangan dan agrikultur merupakan beberapa fokus besar utama yang berusaha untuk diintegrasikan konsep investasi yang sustainable.
Setidaknya, melalui data oleh UNCTED di atas kita semua bisa memahami betapa besarnya investasi yang dibutuhkan untuk mencapai sebuah sistem yang sustainable. Dengan permasalahan yang sebegitu besarnya, hal ini tidak mungkin hanya menjadi permasalahan satu atau dua negara di dunia. Seluruh aktor internasional harus memiliki kesadaran kolektif yang sama mengenai sustainable investing untuk bisa memberikan respon ideal terhadap permasalahan di atas.
Batasan pada Model Institusi Itu Sendiri
Level institusi internasional memungkinkan negara anggotanya untuk menciptakan sebuah komitmen, norma, prinsip, atau sebuah blueprint yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam membuat sebuah kebijakan. Tentunya dengan memperhatikan struktur dan model institusinya, kekuatan sebuah norma dan prinsip pada setiap institusi akan berbeda-beda.
Di atas kertas, sebuah institusi yang mensyaratkan negara anggotanya untuk memberikan sebagian kedaulatan negaranya dalam institusi tersebut memungkinkan adanya dorongan atau bahkan intervensi dari institusi terkait.
Baca juga: Lingkungan dan Citra Negara: AS dan Paris Agreement
Sehingga, permasalahan ini hadir pada institusi yang memiliki tingkat permasalahan yang tinggi, namun tidak memiliki hak istimewa untuk mengintervensi kebijakan negara anggotanya.
ASEAN, sebagai organisasi intragovernmental pada kawasan regional Asia Tenggara mendapati sorotan atas hal ini.
Foto: Komunike Bersama Pertemuan Para Menteri Luar Negeri ASEAN ke-53, September 2020
Organisasi intragovernmental adalah sebuah entitas yang dibentuk berdasarkan keinginan bersama, yang terdiri dari dua negara atau lebih untuk mencapai tujuan maupun manfaat yang dapat diperoleh bersama.
Layaknya PBB dan organisasi internasional sejenis, ASEAN pun memiliki tujuan dan manfaat bersama yang ingin dicapai oleh negara-negara anggotanya. Kendati hal ini telah terancang, terkadang permasalahan negara anggotanya tidak mampu diselesaikan melalui ASEAN.
Permasalahan pembangunan yang tidak berkelanjutan bukanlah hal yang sukar ditemui di regional Asia Tenggara. Sebagai contoh khusus, industri bisnis yang tidak berkelanjutan di Indonesia sendiri sangat mudah diasosiasikan dengan dampaknya yang negatif, seperti pertambangan yang merusak alam, eksploitasi hutan yang menyebabkan banjir, serta industri agrikultur yang bersifat jangka pendek.
Permasalahan kerusakan lingkungan ini tidak hanya dirasakan oleh Indonesia saja. Asap hitam hasil kebakaran hutan gambut hasil industri minyak kelapa turut menyelimuti angkasa Malaysia dan Singapura. Selain mengganggu pemandangan, asap ini juga sangat beresiko untuk menghasilkan penyakit dalam seperti infeksi saluran pernapasan, asma, iritasi, dan sebagainya.
Untuk menanggapi hal ini, ASEAN pun telah menyelesaikan beberapa inisiatif. Pada tahun 2002, ASEAN telah merancang ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) yang secara spesifik dirancang untuk menanggapi masalah kabut asap dari Indonesia yang sudah bermanifestasi menjadi masalah lintas negara.
Pada tahun 2014 pun, Indonesia telah menyetujui inisiatif ini dengan melakukan ratifikasi. Namun, ratifikasi ini tidak segera diikuti dengan pengubahan regulasi domestik mengenai praktik industri agrikultur yang terkait.
ASEAN pun tidak bisa mengikutcampuri kedaulatan negara terkait atas proses perancangan kebijakannya. Hal ini sesuai dengan prinsip ASEAN pertama kali dibentuk, bahwa bagaimana organisasi antarpemerintah ini tidak dibentuk untuk memiliki kapasitas dan hak dalam melakukan intervensi kebijakan negara anggotanya.
Kendati demikian, kita tidak bisa kemudian menyimpulkan bahwa ASEAN tidak efektif dalam menanggapi masalah ini. Hal ini disebabkan bagaimana ASEAN sudah melangsungkan fungsinya dengan baik, untuk terus mendorong dan merelevansikan isu sustainable development kepada negara-negara anggotanya.
Kita pun sebagai individu juga harus menyelaraskan peran dan kapasitas masing-masing demi tercapainya pembangunan yang sustainable. Tujuan baik yang besar tidak akan tercapai tanpa langkah kecil dari kita semua.
***