Korupsi merupakan tindakan yang menimbulkan kerugian sangat besar. Secara global ada $2 triliun yang dihabiskan untuk korupsi setiap tahunnya. Data PBB menunjukkan bahwa uang korupsi di seluruh dunia sebesar $116 miliar dapat digunakan untuk mengentaskan kelaparan selama satu dekade.
International Monetary Fund (IMF) dalam laporannya yang berjudul “Corruption: Costs and Mitigating Strategies” menyebutkan bahwasanya korupsi adalah salah satu masalah paling krusial yang dihadapi oleh banyak negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Data dari PwC Survey di tahun 2015 dan 2016 menunjukkan lima teratas dan lima sektor terbawah di mana para CEO menganggap suap dan korupsi sebagai ancaman bagi bisnis.
Dari data tersebut menunjukkan bahwa industri padat komoditas seperti pertambangan, konstruksi, dan ekstraksi minyak dan gas adalah area di mana CEO merasa bahwa korupsi merupakan ancaman yang signifikan. Hal ini menjadi sangat masuk akal karena industri ekstraktif sering kali berada di negara yang kurang berkembang, di mana korupsi cenderung menjadi masalah yang lebih besar dan memerlukan serangkaian izin dan interaksi resmi dengan pemerintah yang dapat menciptakan peluang untuk penyuapan, dan juga korupsi. Terlebih lagi ini adalah sektor-sektor di mana permintaan komoditas diperkirakan tidak elastis, sebagian karena kurangnya alternatif.
Sebaliknya, sektor seperti ritel, perawatan kesehatan (tidak termasuk farmasi) dan utilitas tampak tidak terlalu terancam oleh efek penyuapan dan korupsi, sebagian besar karena transparansi beberapa sektor ini, terutama dalam hal penetapan harga.
Laman Word Economic Forum (WEF) memuat sebuah artikel yang berjudul “We waste $2 trillion a year on corruption. Here are four better ways to spend that money” artikel tersebut berandai-andai apabila uang $116 miliar tidak dihabiskan untuk biaya korupsi.
Pertama, uang $116 miliar dapat digunakan untuk mengurangi kelaparan. Pada 2015 Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan bisa menghilangkan kelaparan setidaknya selama sepuluh tahun. Saat ini, ada 800 juta orang di seluruh dunia kekurangan pangan.
Kedua, $8,5 miliar dapat digunakan untuk program pemberantasan malaria. Dua tahun lalu, tercatat ada 212 juta orang terjangkit malaria dan 429 ribu diantaranya meninggal dunia. Uang yang seharusnya selamat dari korupsi akan menguntungkan 34 negara yang sedang memberantas malaria selama 15 tahun ke depan.
Ketiga, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, 100 juta anak di dunia tidak memiliki akses ke pendidikan dasar. Dalam sebuah studi tahun 2014, disebutkan bahwa hanya US $26 miliar yang dikeluarkan setiap tahun untuk memungkinkan 46 negara miskin dan berkembang menyediakan pendidikan dasar bagi anak-anak mereka.
Keempat, yang tidak kalah pentingnya adalah biaya yang tersedia untuk infrastruktur global. Dana US $1 triliun dapat digunakan untuk pemerataan pembangunan di dunia seperti jalan raya, jembatan, dan jaringan listrik.
Negara juga kehilangan banyak uang karena korupsi di Indonesia. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat angka kerugian nasional memang menurun setiap tahunnya, mencapai Rp7,3 triliun pada 2013 dan hanya Rp3,1 triliun pada 2015. Indonesia mencetak 37 poin tahun lalu, meningkat satu poin dari 36 poin pada 2015. Namun Indonesia masih termasuk negara korup karena Indonesia masih berada 43 poin di bawah rata-rata.
Mengurangi korupsi adalah sebuah tantangan, tetapi dapat memberikan manfaat yang besar. Lalu apa cara terbaik untuk memerangi korupsi? Perubahan politik besar kadang-kadang menghadirkan peluang untuk reformasi yang ambisius dan perbaikan yang cepat, seperti di Georgia. Tetapi dalam banyak kasus, kemajuan cenderung bertahap. Sukses membutuhkan kemauan politik, ketekunan, dan komitmen untuk terus meningkatkan institusi selama bertahun-tahun.
Peluang keberhasilan akan semakin besar ketika negara meningkatkan beberapa lembaga yang saling mendukung untuk menangani korupsi. Mereka harus mulai dengan bidang-bidang yang berisiko lebih tinggi — seperti pengadaan, administrasi pendapatan, dan pengelolaan sumber daya alam — serta pengendalian internal yang efektif. Kerangka tata kelola fiskal juga membutuhkan layanan sipil yang profesional dan etis sebagai pilar utama. Kepala badan, kementerian, dan perusahaan publik harus mempromosikan perilaku etis dengan menetapkan norma yang jelas.
Pemerintah perlu mengikuti perkembangan teknologi dan peluang untuk melakukan kesalahan. Analisis dari International Monetary Fund (IMF) menemukan bahwa ketika pemerintah berinvestasi dalam teknologi informasi dan komunikasi dan transparansi meningkat, ada lebih sedikit peluang untuk meminta suap. Misalnya, di Chili dan Korea, sistem pengadaan elektronik telah menjadi alat yang ampuh untuk meningkatkan transparansi dan mengurangi korupsi.
Mempromosikan transparansi dan pers juga dapat membantu meningkatkan akuntabilitas. Seperti contohnya Kolombia, Kosta Rika, dan Paraguay menggunakan platform online yang memungkinkan warga untuk memantau kemajuan fisik dan keuangan proyek investasi. Analisis lintas negara menunjukkan bahwa pers yang bebas meningkatkan manfaat transparansi fiskal dalam memberantas korupsi. Tidak cukup hanya dengan merilis data; itu juga harus disebarluaskan dan dijelaskan. Di Brasil, rilis hasil audit memengaruhi prospek terpilihnya kembali pejabat yang dicurigai menyalahgunakan uang publik, dan dampaknya lebih besar di wilayah yang memiliki stasiun radio lokal.
Korupsi adalah tindakan yang sangat merugikan, untuk menanggulanginya pun dapat menjadi tugas yang menakutkan. Akan tetapi, penting untuk memulihkan kepercayaan publik pada pemerintah terkait kasus korupsi yang sedang terjadi. Perang melawan korupsi juga dapat membawa keuntungan ekonomi dan sosial yang signifikan dari waktu ke waktu. Dimulai dengan kemauan politik dalam negeri, penguatan institusi secara terus menerus untuk mempromosikan integritas dan akuntabilitas, dan kerjasama global.
Ditulis oleh Khofifah Noviarianti
**
Baca juga artikel-artikel dari ESGI lainnya: